World Environment Day: Aksi Seremonial, Modus Baru “Numpang Eksis”
![]() |
Logo Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012 (Sumber Gambar: http://www.rutland.gov.uk/) |
Hari-hari bersejarah atau penting memang
sudah selayaknya diperingati guna mengingatkan kembali kepada kita tentang
betapa pentingnya makna yang terkandung di dalamnya. Begitu pula halnya dengan
Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World
Environment Day) yang rutin diperingati setiap tanggal 5 Juni semenjak
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1972 silam. Penetapan
World Environtment Day (WED) oleh PBB
sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global akan masalah lingkungan
dan untuk membantu menstimulai perhatian politik, tindakan publik, dan komitmen
pribadi untuk pelestarian lingkungan yang pada akhirnya akan bermuara pada
terciptanya kualitas lingkungan hidup yang lebih baik.
Sepanjang perjalanannya, WED semakin
mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat dunia, terlebih saat
semakin merebaknya isu Global Warming
yang konon semakin mengancam kehidupan umat manusia akibat kian memburuknya
kualitas lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari semakin maraknya aksi-aksi
sosial guna memperingati WED, mulai dari parade, demonstrasi jalanan, hingga
konser amal untuk menyerukan gerakan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Tak
terbatas hanya pada komunitas atau lembaga penggiat lingkungan hidup,
kelompok-kelompok lain pun mulai bermunculan bak jamur di musim hujan untuk
turut vokal menyuarakan pro lingkungan hidup, seperti perusahaan komersil,
partai politik, kampus, dan instansi pemerintahan. Tren positif ini tentu akan
menjadi angin segar bagi para penggiat dan pemerhati lingkungan hidup karena
mereka merasa mendapatkan tambahan armada untuk ikut bersama-sama menyerukan
perbaikan kualitas lingkungan hidup. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar
mengusung misi sosial (pelestarian lingkungan hidup) atau mungkin ada misi ‘terselubung’
dibalik aksinya itu, semisal usaha untuk menarik simpati publik demi kepentingan
eksistensi?
Entahlah, kita hanya bisa berharap
semoga aksi-aksi pro lingkungan hidup yang mereka lakukan bukan hanya merupakan
aksi-aksi ‘seremonial’ belaka, yang cenderung bertujuan untuk menarik simpati
publik demi kepentingan eksistensi karena dianggap turut peduli akan
kelestarian lingkungan hidup, melainkan merupakan manifestasi panggilan hati
dan kesadaran sebagai penduduk bumi yang peduli akan masa depan ‘rumah’nya
sendiri.
Perlu kita sadari bersama, bahwa fakta penurunan
kualitas lingkungan hidup telah terjadi secara masif di berbagai belahan dunia.
Dampaknya mungkin kita semua sudah mulai bisa merasakannya sendiri. Fenomena
banjir bandang, air pasang, abrasi, angin ribut, tanah longsor dan bencana
lainnya seolah telah menjadi pemandangan yang lazim belakangan ini. Alam tak
lagi mau berkawan dengan para penghuninya. Jika hal ini terus dibiarkan, apa
yang nanti akan kita wariskan kepada anak-cucu kita? Apa mungkin kita hanya
akan mewariskan ‘puing-puing’ bumi lengkap dengan cerita indahnya di masa
lampau? Penulis yakin kita semua akan serentak menjawab dengan kata
“TIDAK..!!”.
Lantas, apa yang bisa kita perbuat demi
keselamatan planet bumi dari ancaman ‘mimpi buruk’ itu?
Jawabannya sangat mudah, kita hanya
perlu merapatkan barisan, menyamakan persepsi, dan merumuskan komitmen bersama
terkait upaya pelestarian lingkungan. Karena untuk ukuran misi seberat itu,
sangat mustahil rasanya jika hanya melibatkan satu-dua orang saja. Selain itu,
hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kita bisa take action, karena rencana dan strategi sematang apapun, jika
tanpa pernah ada tindakan nyata, maka sama saja dengan ‘omong kosong’. Tak
perlu harus melaksanakan aksi besar-besaran, lebih-lebih jika aksi itu sudah
tidak murni lagi akibat sudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan golongan
yang sifatnya hanya sesaat. Kita bisa memulainya dengan melakukan hal-hal kecil
semisal menghijaukan lingkungan sekitar rumah atau mengolah sampah skala rumah
tangga (utamnya sampah non organik). Buat apa kita menanam jutaan pohon pada
lahan kritis yang demikian tandus jika ujung-ujungnya pohon yang sudah kita
tanam tidak kita rawat lewat program perawatan yang sinergis dan
berkesinambungan? Bukankah dalam hal ini kualitas jauh lebih penting dari
kuantitas?
Untuk itu penulis menekankan kembali
bahwa pelestarian lingkungan bukan semata-mata perkara menanam pohon secara
besar-besaran kemudian selesai. Tapi justru yang jauh lebih penting disini
adalah tindakan yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, walau
sekecil apapun tindakan itu.
Sejalan dengan itu, kita semua juga
harus mulai sadar dan perlahan meninggalkan perilaku-perilaku yang hanya
mementingkan keuntungan sesaat tanpa pernah mempedulikan dampaknya terhadap
lingkungan. Hal ini sejalan dengan tema yang diusung dalam peringatan World Environment Day Tahun 2012 yaitu Green Economy:
Does it Include You?. Dimana makna yang terkandung dari tema
tersebut tiada lain adalah upaya penekanan terhadap pentingnya penerapan dan
pelaksanaan ekonomi hijau oleh semua pihak baik dalam kapasitasnya sebagai
negara, perusahaan, komunitas, maupun individu. Tema ini diangkat karena fakta
bahwa praktek “business as ussual”
telah secara masif turut andil menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan
hidup saat ini.
Akhir
kata penulis ingin mengajak semua pihak, “mari kita bahu-membahu untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup dengan melakukan aksi-aksi ‘sosial murni’ secara
sinergis dan berkesinambungan yang benar-benar dilakukan atas dasar kesadaran
mendalam dari dalam hati, bukan atas dasar kepntingan golongan yang sifatnya sesaat
dalam wujud aksi yang sifatnya ‘seremonial’ belaka.
Kalau
Bukan Kita Siapa lagi?
Kala
Bukan sekarang, kapan lagi?
SALAM LESTARI....:)
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel tentang Hari Lingkungan Hidup Dunia 2012 Ganesha Hijau, Institut Teknologi Bandung
0 comments :
Post a Comment