Breaking News
Loading...
Friday, January 3, 2014

Revitalisasi Kearifan Lokal, Tiada Lagi Cerita “Ayam Mati di Lumbung Padi”

Ilustrasi Gambar
(Sumber : 
http://komunitasfilm.org) 
Indonesia adalah negeri yang kaya raya, adakah diantara anda yang berani menyangkal statemen ini? Saya yakin anda semua pasti akan mengamininya, anda semua pasti menganggukkan kepala tanda sepakat jika orientasi dari kata ‘kaya raya’ itu adalah ketersediaan sumber daya alam. Tapi bagaimana kalau orientasinya adalah realita kehidupan rakyat Indonesia kini? Masihkah anda akan tersenyum dan menganggukkan kepala dengan bangga? Saya kira tidak akan ada satupun diantara anda yang bersedia menganggukkan kepala, syukur-syukur tidak dibarengi dengan ekspresi muka kecut, mengingat getirnya kenyataan yang mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih terpuruk di bawah garis kemiskinan. Benar-benar kenyataan yang sangat kontradiktif!

Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber daya alam paling melimpah dan terlengkap di dunia. Mulai dari sumber daya alam yang terbarukan hingga sumber daya yang tak terbarukan ada di Indonesia. Walaupun tidak banyak, negara lain juga sebenarnya banyak yang kaya akan sumber daya alam, tapi biasanya hanya satu atau beberapa jenis kekayaan alam saja yang mereka miliki, lain halnya dengan Indonesia, hampir seluruh jenis kekayaan alam ada dan tersebar merata hampir di setiap jengkal wilayah Indonesia. Mungkin jika ada pemeringkatan tujuh besar negara dengan kekayaan sumber daya alam paling melimpah ala siaran televisi sekarang ini, saya yakin Indonesia pasti termasuk di dalamnya. Melihat realita tersebut, maka bukan sesuatu yang berlebihan saya rasa bila kemudian muncul sekelompok seniman yang tergabung dalam group musik legendaris Koes Ploes yang menuangkan kekagumannya akan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah dalam setiap bait lirik lagunya yang bertajuk kolam susu. Lirik lagu tersebut secara gamblang mendeskripsikan kondisi alam negara Indonesia yang selain kaya juga subur dan kondusif. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah seluruh rakyat Indonesia sudah mencicipi manis dan lezatnya ‘susu’ itu sendiri? Silahkan anda jawab sendiri dalam hati karena saya yakin anda semua tahu persis akan hal itu.

Harus jujur dan berani kita akui bahwa saat ini baru segelintir orang saja yang bisa menikmati manis dan lezatnya ‘susu’ itu, sedangkan separuh lebihnya belum sama sekali. Jangankan untuk menikmati ‘susu’, ‘air putih’ pun masih menjadi barang mewah yang jauh dari jangkauan sebagian orang di Indonesia, sungguh sebuah ironi yang menjurus tragis. Keadaan inilah yang membuat Indonesia masih setia terdaftar dalam kategori negara berkembang padahal sudah sejak lama pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan slogan Indonesia as New Emerging Economy Country, yang atinya Indonesia diharapkan segea akan menjadi salah satu negara ekonomi muncul (maju) di dunia. Melihat ‘modal’ yang dimiliki negara Indonesia, slogan itu sebenarnya sangat realistis bahkan bisa dibilang hal itu memang sudah sepantasnya. Akan tetapi mengapa sampai kini slogan itu masih tetap hanya sebatas slogan?

Hemat saya mengatakan lemahnya sikap mental bangsa Indonesia-lah yang menjadi akar permasalahannya. Sikap mental ini sering dinomorduakan bahkan diabaikan begitu saja, padahal sikap mental merupakan salah satu aspek penting guna menjadi negara yang kuat dan mandiri di berbagai sektor. Indonesia masih belum siap menjadi Emerging Economy Country karena ketiadaan mental juara dalam setiap perjuangannya. Padahal jika kita menilik sejarah panjang bangsa dan negara Indonesia di masa lalu, sebenarnya bangsa Indonesia telah memiliki sikap mental yang unggul yang berbasis kearifan lokal, bukan hasil plagiarisme terhadap budaya asing. 

Kita mulai sejak zaman kerajaan Sriwijaya di Palembang yang terkenal sebagai negara maritim dengan ketangguhan armada lautnya. Kerajaan Sriwijaya menjejaki masa kejayaannya pada abad ke-7 dan ke-8. Kejayaan Sriwijaya direpresentasikan oleh majunya berbagai sektor kehidupan, terutama sektor agama, ekonomi, dan politik. Pada sektor agama Kerajaan Sriwijaya berhasil menunjukkan diri sebagai salah satu kiblat perkembangan agama Budha. Kemudian di sektor ekonomi Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai beberapa Bandar-bandar perdagangan di semenanjung Malaka dan jalur lalu lintas laut internasional yang merupakan akses utama perdagangan antar negara saat itu. Sedangkan di sektor politik Sriwijaya berhasil menegaskan posisinya sebagai sebuah negara antar nusa yang artinya tidak hanya memiliki satu pulau sebagai daerah kekuasaan akan tetapi banyak pulau di kuasai oleh Sriwijaya bahkan meluas sampai daerah-daerah yang kini masuk ke dalam teritorial negara-negara tetangga Indonesia. Indikator yang paling jelas menggambarkan kejayaan Sriwijaya adalah rakyatnya yang hidup damai dan sejahtera. 

Kejayaan Sriwijaya kemudian diteruskan oleh kerajaan Hindu di tanah Jawa, yaitu Majapahit yang dianggap sebagai negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Wilayah kekuasaannya antara lain Malaya, Sumatera, Borneo, Bali, dan Filipina. Keadaan masyarakat pada zaman Majapahit hampir sama dengan pada zaman Sriwijaya, damai dan sejahtera bahkan kualitasnya lebih bagus. Kerajaan Majapahit menjejaki puncak masa kejayaannya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk yang dibantu sosok mahapatih yang melegenda sampai saat ini yaitu Gajah Mada. Gajah Mada adalah sosok dibalik suksesnya penyatuan nusantara yang amat terkenal dengan sumpahnya yaitu Sumpah Amukti Palapa yang isinya yaitu beliau tidak akan melepas puasa sebelum berhasil menaklukan beberapa kerajaan untuk disatukan menjadi nusantara. Sumpah ini pun benar-benar beliau taati hingga akhirnya beliau berhasil mempersatukan nusantara. 

Kedua kerajaan legendaris itu berhasil menapaki masa kejayaannya bukan semata-mata karena bala tentara yang kuat, letak geografis yang menguntungkan, dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi lebih kepada sistem tata kelola yang baik yang didukung oleh keunggulan sikap mental berbasis kearifan lokal warisan nenek moyang. Ada banyak kearifan lokal nenek moyang yang senantiasa dijadikan suri teladan bagi seluruh elemen kerajaan tersebut, tidak terkecuali raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Salah satu contoh kearifan lokal yang sudah ada sejak jaman dahulu dan diterapkan segenap rakyat dua kerajaan tersebut yaitu konsep gotong royong yang kemudian menjadi cikal bakal kuatnya rasa persatuan dan kesatuan dalam usaha membangun negara yang maju di segala bidang. Banyak pula kearifan-kearifan lokal yang lahir pada saat masa kerajaan tersebut, beberapa diantaranya seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa; keteguhan tekad seorang pemimpin dalam menjalankan tugas negara yang tertuang dalam sumpah Amukti Palapa mahapatih Gajah Mada; konsep Good Governance yang tertuang dalam ajaran Panca Dasa Paramiteng Prabhu; konsep terciptanya keseimbangan alam yang tertuang dalam berbagai hukum adat, mitos, dan ritual penghaturan sesajen seperti larung sesaji; konsep arsitektur yang kini sering diadopsi oleh para arsitek untuk mengembangkan sebuah paviliun yang layak huni dan pro lingkungan hidup; konsep toleransi beragama yang sangat tinggi; dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Setelah tenggelam dalam manisnya cerita kejayaan nusantara di masa lampau, kembali terlintas di benak saya sejumlah pertanyaan, lantas apa yang membuat Indonesia semakin terjerembab dalam jurang keterpurukan seperti sekarang ini? Apakah ini adalah kutukan leluhur kita? 

Pikiran saya seketika kembali terbawa ke dalam fenomena getirnya kondisi Indonesia kini. Saya pun mencoba menelaah satu persatu masalah bangsa ini, dan akhirnya saya temukan semua jawaban atas pertanyaan itu. Jawabannya adalah ya! Kita memang sedang menjalani kutukan saat ini, kutukan akibat penghianatan terhadap berbagai kearifan lokal bernilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Indonesia kini kian terpuruk akibat banyaknya pemimpin kita yang melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang tentu sangat jauh menyimpang dari kearifan lokal bernama konsep Panca Dasa Paramiteng Prabhu. Banyak diantara kita yang saling hujat dan bertindak anarkis dalam bingkai konflik berkepanjangan hanya karena isu perbedaan SARA yang tentu kontradiktif terhadap slogan Bhineka Tunggal Ika dan kearifan lokal berupa budaya toleransi yang telah ada sejak zaman kerajaan dulu. Tak sedikit pula diantara kita yang terhasut bujukan menjadi makhluk individualis yang jauh dari semangat gotong royong, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk penghianatan kita terhadap kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang tanpa kita sadari telah membuat kita berada pada kondisi bangsa seperti sekarang ini.

Andaikan saja para punggawa dan raja kerajaan Sriwijaya dan Majapahit masih hidup sampai saat ini, saya yakin mereka tidak akan rela bangsa Indonesia hidup dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, larut dalam penyesalan mendalam hanya akan membuat kita semakin terpuruk. Yang harus kita bersama perbuat sekarang adalah sadar, menggali kembali, dan melestarikan berbagai kearifan lokal warisan nenek moyang kita yang telah terbukti bisa menjadi landasan sebuah sikap mental yang unggul untuk selanjutnya kita revitalisasi dengan jalan mengamalkan kearifan lokal itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari guna terwujudnya Indonesia yang bangkit kearah kemajuan. Sehingga tidak ada lagi cerita unhappy ending bertajuk “Ayam Mati di dalam Lumbung” di negeri kita tercinta, Indonesia.


Diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Opini 2013 yang Diselengggarakan oleh UKM Pers Mahasiswa 'Visi' Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA)

0 comments :

Post a Comment

Back To Top