Breaking News
Loading...
Monday, December 16, 2013

Museum Subak: Rumah Edukasi Warisan Budaya Dunia

Salah Satu Koleksi Museum Subak Sanggulan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Membahas tentang pertanian di Bali tentu tidak bisa lepas dari Subak, yaitu salah satu aset kelembagaan tradisional yang telah terbukti efektifitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian dan pedesaan di Bali. Subak merupakan persekutuan hukum (adat) yang terbentuk karena adanya persamaan kepentingan di bidang pengairan untuk keperluan pertanian. Kedudukan subak sebagai persekutuan hukum dipertegas oleh pernyataan yang tertuang dalam Perda Bali No.02/DPRD/1972 yang menyatakan bahwa Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-religius yang secara historis didirikan sejak dahulukala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah (Pitana, 1997). Subak sendiri memiliki lima ciri khas yang membedakan dirinya dengan dengan organisasi sejenis yang lain. Kelima ciri yang dimaksud yaitu: (1) subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya yang memiliki pengurus dan peraturan organisasi (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis; (2) subak mempunyai suatu sumber air bersama, berupa bendung (empelan) di sungai, mata air, air tanah ataupun saluran utama suatu sistem irigasi; (3) subak mempunyai suatu areal persawahan; (4) subak mempunyai otonomi baik internal maupun eksternal; dan (5) subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau pura lainnya yang berhubungan dengan persubakan. Berikut ini adalah sebuah video animasi (oleh KOMPAS) untuk mendemonstrasikan bagaimana sistem subak itu sendiri bekerja.


Berbagai keunikan dan karakter khusus itulah yang kemudian mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, bahkan bisa dikatakan bahwa subak merupakan salah satu alasan penting mengapa wisatawan ingin berkunjung ke Bali, disamping karena keindahan panorama alam dan kebudayaan masyarakat Bali. Selain wisatawan, subak juga telah berhasil menyita perhatian kalangan pakar pembangunan pertanian dan pedesaan, kalangan ahli-ahli ilmu sosial (sosial dan antropologi) serta para pemerhati masalah teknis keirigasian (irrigation engineering). Berbagai hasil kajian tentang subak pun kemudian bermunculan baik yang merupakan karya peneliti asing maupun peneliti dari dalam negeri. Pada awalnya kajian tentang subak lebih bayak dilakukan oleh ahli-ahli barat seperti Liefrinck, Covarrubias, Grader, Berkelbach, Geertz, Lansing dan lain sebagainya. Namun belakangan ahli-ahli dari dalam negeri pun turut melakukan kajian tentang subak, seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Universitas Udayana yang dimotori oleh Prof. Dr. Nyoman Sutawan.

Citra positif tentang Subak terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya pengakuan dari badan khusus PBB yaitu UNESCO (United Nations Educational, Science, and Cultural Organization). Tepat pada tanggal 29 Juni 2012 UNESCO menetapkan Subak sebagai salah satu warisan budaya dunia melalui sidang umum yang digelar di Saint Petersburg, Rusia. Penetapan tersebut merefleksikan pengakuan dunia terhadap nilai luar biasa dan universal subak sehingga dunia turut melindunginya (travel.kompas.com). Akan tetapi pengakuan yang telah diperjuangkan selama duabelas tahun lamanya (2000-2012) ini tidak serta merta meningkatkan kesadaran masyarakat Bali akan kelestarian subak, utamanya dari kalangan generasi muda. Sebagian besar generasi muda Bali tampak demikian antipati terhadap subak yang erat kaitannya dengan dunia pertanian yang selama ini konotasinya negatif karena pertanian dianggap tidak mampu mengangkat derajat sosial ekonomi dari masyarakat yang menggelutinya. Kebanggan yang begitu besar memang ditunjukkan oleh seluruh elemen masyarakat Bali terhadap subak atas penetapannya sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, namun sayang kebanggaan tersebut belum terimplementasi secara optimal dalam bentuk usaha nyata pelestarian subak.

Selama ini usaha pelestarian subak yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah cenderung bersifat konvensional, yaitu hanya berorientasi pada fisik subak seperti pemberian dana bantuan untuk perbaikan infrastruktur. Aspek yang tidak kalah pentingnya yang sering diabaikan dalam usaha pelestarian subak misalnya pemberian edukasi kepada masyarakat utamanya generasi muda tentang nilai-nilai luhur subak yang patut dijaga kelestariannya. Aspek inilah yang kedepan harus turut digalakkan oleh pemerintah, terlebih lagi saat ini telah berkembang berbagai metode edukasi baru yang semakin kreatif dan inovatif salah satunya dengan mengintegrasikan teknologi Augmented Reality, yaitu sebuah teknologi visual yang menggabungkan objek atau dunia virtual ke dalam tampilan dunia nyata secara real time yang dapat dijalankan pada perangkat smartphone atau tablet yang berbasis Android dan iOS (Fathoni et.al., 2012).

Pemanfaatan teknologi Augmented Reality dalam kerangka pelestarian budaya sebelumnya telah sukses dikembangakan oleh Jurusan Pendidikan Teknik Informatika, Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA), Singaraja-Bali dalam bentuk Augmented Reality Book, yaitu sebuah buku yang terintegrasi dengan teknologi Augmented Reality yang dapat menampilkan objek tiga dimensi (3D), teks, dan suara sehingga buku tersebut terkesan lebih menarik dan interaktif. Augmented Reality Book yang berhasil dikembangkan tersebut diantaranya (1) Augmented Reality Book Penganalan Barong Bali yang dikembangkan oleh Gede Sukra Ardipa; (2) Augmented Reality Book Pengenalan Topeng Bali Klasik yang dikembangkan oleh Made Lanang Nugraha; dan (3) Augmented Reality Book Pengenalan Jenis-Jenis Petulangan yang dikembangkan oleh Agus Nyoman Reditya Ary Prasetya.

Namun jauh sebelum itu, sebenarnya di Bali telah berdiri sebuah "rumah edukasi" mengenai subak, yaitu Museum Subak yang digagas oleh I Gusti Ketut Kaler seorang pakar adat dan agama pada tanggal 17 Agustus 1975. Gagasan ini kemudian disambut baik oleh Gubernur Bali saat itu yakni Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dan selanjutnya didirikanlah Museum Subak di Jalan Gatot Subroto, Sanggulan, Kediri, Tabanan. Dipilihnya Tabanan sebagai lokasi pendirian museum sejalan dengan Kabupaten Tabanan yang mempunyai subak terbanyak dan terluas arealnya di Bali yang kemudian menyebakkannya sering dijuluki sebagai Lumbung Berasnya Bali. Secara resmi museum ini berdiri sejak tanggal 13 Oktober 1981 dengan mengusung beberapa tujuan diantaranya (1) menggali dan menghimpun berbagai benda dan data yang berkaitan dengan subak, termasuk yang mempunyai nilai sejarah serta menyuguhkannya sebagai sarana studi/penelitian; (2) menyelamatkan, mengamankan, dan memelihara berbagai benda yang berkaitan dengan subak; (3) menyuguhkan berbagai bahan informasi dan dokumentasi serta sebagai media pendidikan tentang subak; dan (4) tempat rekreasi/ objek pariwisata.

Di Museum Subak ini disimpan berbagai koleksi yang diklasifikasikan menjadi beberapa kategori seperti (1) Perlengkapan Organisasi Subak; (2) Pembukaan Lahan Pertanian; (3) Membuat Saluran Air dan Terowongan; (4) Perlengkapan Upacara; (5) Pengolahan Tanah; (6) Membersihkan Tanaman Padi; (7) Penangkap Ikan; (8) Menghalau Hama; (9) Panen; (10) Menumbuk Padi; (11) Alat-Alat Memasak; (12) Alat-Alat Menghidangkan (museumsubak.com). 


1. Perlengkapan Organisasi Subak. Perkembangan Subak sebagai suatu organisasi sodial yang bergerak dalam sektor pertanian mempunyai berbagai macam kegiatan antara lain mengadakan rapat anggota subak yang berlangsung setiap 35 hari sekali secara rutin dan rapat tak berkala yang dilakukan apabila terdapat suatu permasalahan yang dianggap mendesak untuk dibicarakan. 

2. Pembukaan Lahan Pertanian. Apabila akan mengadakan perluasan areal pertanian, dilakukan perabasan hutan/ semak yang tidak berfungsi serta memungkinkan untuk dialiri air dan ditanami padi. Alat yang dipergunakan antara lain: kandik, kapak, gergaji, caluk dll. 

3. Membuat Saluran Air dan Terowongan. Dalam rangka mengalirkan air dari sumbernya ke areal pertanian dibuat saluran-saluran baik saluran biasa diatas tanah maupun dalam tanah. 

4. Perlengkapan Upacara. Untuk menyatakan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa anggota Subak selaku umat Hindu melakukan upacara-upacara dengan menghaturkan sesajen, selain itu didalam melakukan aktivitas dicarilah hari yang dianggap baik dengan menggunakan “tika atau wariga”. 

5. Pengolahan Tanah. Setelah beberapa hari digenangi air, pekerjaan mengolah tanah dapat dimulai. Pekerjaan pertama yaitu menggemburkan tanah dengan jalan mencangkul atau membajak dengan alat yang desebut tenggala (bajak), ditarik oleh sapi atau kerbau. Bersamaan dengan pekerjaan ini dilakukan penyemaian bibit padi pada suatu sudut tanah itu pula. Dalam pengolahan tanah ini, adapaun peralatan yang dipergunakan antara lain: tenggala, lampit, cangkul, pemelasah, grinding, juga terdapat alat untuk mengerjakan bibit padi yaitu: sabit, penjepit bibit, tempeh, suwah bulih. 

6. Membersihkan Tanaman Padi. Kurang lebih dua minggu setelah bibit ditanam, dilakukan pembersihan pada tumbuhan pengganggu tanaman padi. Pekerjaan ini dapat dilakukan dengan memakai tangan yang disebut dnegan mejukut, dapat juga menggunakan alat seperti pengelondohan, kiskis, sorok dan penampad. 

7. Penangkap Ikan. Para petani mengisi waktu senggang melaksanakan pekerjaan sambil menangkap ikan di sawah atau di sungai menggunakan berbagai alat perangkap seperti bubu, seser, sugsug, dungki dll. 

8. Menghalau Hama. Apabila bunga padi mulai tampak, sering berbagai jenis hama datang menyerang seperti: burung, tikus, serangga dan sebagainya. Untuk menghalau hama-hama itu para petani membuat lelakut (orang-orangan sawah) dan bunyi-bunyian dari bambu yang disebut kepuakan. 

9. Panen. Apabila padi sudah menguning dan dianggap cukup untuk dipotong, pertama-tama sebelum dipotong diadakan upacara yang ditujukan kepada dewi Sri. Alat yang digunakan untuk panen antara lain: anggapan(ani-ani) sebagai pemotong padi, penatapan alat untuk meratakan ikatan padi, pengeret alat untuk memperkuat ikatan padi, sabit alat untuk memotong padi, sanan alat untuk memikul padi. 

10. Menumbuk Padi. Masyarakat Bali mengolah padi menjadi beras (menumbuk padi) biasanya mempergunakan peralatan yang terbuat dari bahan alam antara lain: luu, lesung, sok, nyiru, sidi dan sebagainya. 

11. Alat-Alat Memasak. Alat-alat ini dibuat dengan bentuk sederhana dari bahan alami, contohnya periuk yang dibuat dari tanah liat dibakar, sendok sayur, calung (tempat garam), kuskusan, semprog, sepit, kekeb, suit, pengedangan, pulu, batu base, pisau , talenan dan lain-lain. 

12. Alat-Alat Menghidangkan. Biasanya setelah memasak diperlukan alat untuk menghidangkan makanan dan minuman. Alat-alat tersebut antara lain: sok nasi (tempat nasi), kawu (piring dari tempurung kelapa), sendok nasi, tempat sambel, caratan (tempat air minum).
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments :

Post a Comment

Back To Top