Breaking News
Loading...
Friday, January 3, 2014

World Environment Day: Aksi Seremonial, Modus Baru “Numpang Eksis”


Logo Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012
(Sumber Gambar: http://www.rutland.gov.uk/)
Hari-hari bersejarah atau penting memang sudah selayaknya diperingati guna mengingatkan kembali kepada kita tentang betapa pentingnya makna yang terkandung di dalamnya. Begitu pula halnya dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) yang rutin diperingati setiap tanggal 5 Juni semenjak ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1972 silam. Penetapan World Environtment Day (WED) oleh PBB sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global akan masalah lingkungan dan untuk membantu menstimulai perhatian politik, tindakan publik, dan komitmen pribadi untuk pelestarian lingkungan yang pada akhirnya akan bermuara pada terciptanya kualitas lingkungan hidup yang lebih baik.
Sepanjang perjalanannya, WED semakin mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat dunia, terlebih saat semakin merebaknya isu Global Warming yang konon semakin mengancam kehidupan umat manusia akibat kian memburuknya kualitas lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari semakin maraknya aksi-aksi sosial guna memperingati WED, mulai dari parade, demonstrasi jalanan, hingga konser amal untuk menyerukan gerakan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Tak terbatas hanya pada komunitas atau lembaga penggiat lingkungan hidup, kelompok-kelompok lain pun mulai bermunculan bak jamur di musim hujan untuk turut vokal menyuarakan pro lingkungan hidup, seperti perusahaan komersil, partai politik, kampus, dan instansi pemerintahan. Tren positif ini tentu akan menjadi angin segar bagi para penggiat dan pemerhati lingkungan hidup karena mereka merasa mendapatkan tambahan armada untuk ikut bersama-sama menyerukan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar mengusung misi sosial (pelestarian lingkungan hidup) atau mungkin ada misi ‘terselubung’ dibalik aksinya itu, semisal usaha untuk menarik simpati publik demi kepentingan eksistensi?
Entahlah, kita hanya bisa berharap semoga aksi-aksi pro lingkungan hidup yang mereka lakukan bukan hanya merupakan aksi-aksi ‘seremonial’ belaka, yang cenderung bertujuan untuk menarik simpati publik demi kepentingan eksistensi karena dianggap turut peduli akan kelestarian lingkungan hidup, melainkan merupakan manifestasi panggilan hati dan kesadaran sebagai penduduk bumi yang peduli akan masa depan ‘rumah’nya sendiri.
Perlu kita sadari bersama, bahwa fakta penurunan kualitas lingkungan hidup telah terjadi secara masif di berbagai belahan dunia. Dampaknya mungkin kita semua sudah mulai bisa merasakannya sendiri. Fenomena banjir bandang, air pasang, abrasi, angin ribut, tanah longsor dan bencana lainnya seolah telah menjadi pemandangan yang lazim belakangan ini. Alam tak lagi mau berkawan dengan para penghuninya. Jika hal ini terus dibiarkan, apa yang nanti akan kita wariskan kepada anak-cucu kita? Apa mungkin kita hanya akan mewariskan ‘puing-puing’ bumi lengkap dengan cerita indahnya di masa lampau? Penulis yakin kita semua akan serentak menjawab dengan kata “TIDAK..!!”.
Lantas, apa yang bisa kita perbuat demi keselamatan planet bumi dari ancaman ‘mimpi buruk’ itu?
Jawabannya sangat mudah, kita hanya perlu merapatkan barisan, menyamakan persepsi, dan merumuskan komitmen bersama terkait upaya pelestarian lingkungan. Karena untuk ukuran misi seberat itu, sangat mustahil rasanya jika hanya melibatkan satu-dua orang saja. Selain itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kita bisa take action, karena rencana dan strategi sematang apapun, jika tanpa pernah ada tindakan nyata, maka sama saja dengan ‘omong kosong’. Tak perlu harus melaksanakan aksi besar-besaran, lebih-lebih jika aksi itu sudah tidak murni lagi akibat sudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan golongan yang sifatnya hanya sesaat. Kita bisa memulainya dengan melakukan hal-hal kecil semisal menghijaukan lingkungan sekitar rumah atau mengolah sampah skala rumah tangga (utamnya sampah non organik). Buat apa kita menanam jutaan pohon pada lahan kritis yang demikian tandus jika ujung-ujungnya pohon yang sudah kita tanam tidak kita rawat lewat program perawatan yang sinergis dan berkesinambungan? Bukankah dalam hal ini kualitas jauh lebih penting dari kuantitas?
Untuk itu penulis menekankan kembali bahwa pelestarian lingkungan bukan semata-mata perkara menanam pohon secara besar-besaran kemudian selesai. Tapi justru yang jauh lebih penting disini adalah tindakan yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, walau sekecil apapun tindakan itu.
Sejalan dengan itu, kita semua juga harus mulai sadar dan perlahan meninggalkan perilaku-perilaku yang hanya mementingkan keuntungan sesaat tanpa pernah mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan tema yang diusung dalam peringatan World Environment Day Tahun 2012 yaitu Green Economy: Does it Include You?. Dimana makna yang terkandung dari tema tersebut tiada lain adalah upaya penekanan terhadap pentingnya penerapan dan pelaksanaan ekonomi hijau oleh semua pihak baik dalam kapasitasnya sebagai negara, perusahaan, komunitas, maupun individu. Tema ini diangkat karena fakta bahwa praktek “business as ussual” telah secara masif turut andil menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan hidup saat ini.
Akhir kata penulis ingin mengajak semua pihak, “mari kita bahu-membahu untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan melakukan aksi-aksi ‘sosial murni’ secara sinergis dan berkesinambungan yang benar-benar dilakukan atas dasar kesadaran mendalam dari dalam hati, bukan atas dasar kepntingan golongan yang sifatnya sesaat dalam wujud aksi yang sifatnya ‘seremonial’ belaka.
Kalau Bukan Kita Siapa lagi?
Kala Bukan sekarang, kapan lagi?
SALAM LESTARI....:)

 Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel tentang Hari Lingkungan Hidup Dunia 2012 Ganesha Hijau, Institut Teknologi Bandung

0 comments :

Post a Comment

Back To Top